Kasus-kasus konflik agraria di Bengkulu mencakup okupasi lahan oleh masyarakat, yakni tindakan pendudukan tanah secara fisik tanpa kepemilikan sah, penolakan terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit, tumpang tindih lahan, penelantaran lahan oleh perusahaan, komplain penggantian komoditas, perusahaan yang belum memiliki HGU, pencurian tandan buah segar atau getah karet, serta tuntutan pembangunan plasma masyarakat.
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bengkulu, Indera Imanuddin, menjelaskan bahwa penetapan status tanah terlantar sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 membutuhkan waktu hingga 587 hari.